Habis Survey di Parepare Terbitlah Rindu


Survey di Parepare adalah pengalaman pertama saya survey di luar kota Makassar. Jaraknya cukup jauh dari kota Makassar, kurang lebih 150 km. Tiga jam lebih perjalanan yang kami tempuh untuk sampai ke Kota kelahiran B.J Habibie ini. Jujur, awalnya tidak ada niat untuk menceritakan pengalaman saya di Kota Parepare, tapi semakin hari semakin saya rindu dengan semua pengalaman saya di sini.

Kami sampai di Parepare sekitar jam 1 siang, singgah di masjid untuk menunaikan sholat dhuhur lalu tak tahu mau kemana lagi sesudah itu. Maklum, kami para lelaki berangkat lebih pagi dengan motor daripada para perempuan yang bersamaan dengan senior naik mobil. Alhamdulillah, senior yang tinggal disana cepat mengabari dan memberitahu dimana penginapan yang akan kami tempati sekitar seminggu survey di Parepare. Setelah tahu dimana penginapan, kami memutuskan keliling kota selagi menunggu cewek-ceweknya sampai.


Parepare yang saya rasakan adalah kota kecil yang damai. Beberapa jalan yang kami lewati menawarkan pemandangan pantai yang sangat indah, bahkan ada jalan di atas bukit yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan sebagian kota di pesisir. Taman-taman yang hijau, terawat, dan tertata dengan baik.

Malam hari kota ini berubah menjadi kota yang sangat memanjakan warganya dan orang-orang yang berkunjung. Beberapa sudut jalan dihiasi dengan lampu berwarna-warni dan aktifitas di ruang terbuka publik semakin banyak. Terutama di Lapangan Andi Makassau, lapangan ini punya daya tarik tersendiri selain tempat bermain di malam hari yang beragam, terdapat Patung Habibie dan Ainun. Orang-orang yang berkunjung ke Parepare merasa tidak lengkap jika tidak berfoto di tempat ini, termasuk kami juga. Hehe.


Satu lagi yang menjadi daya tarik kota ini di malam hari, Pasar Senggol. Pasar ini banyak menjual pakaian bekas tapi berkualitas dan pasti harganya bisa ditawar menjadi sangat murah. Maklum mahasiswa, tempat seperti ini bagaikan tempat wisata bagi kami. Tempat ini sangat ramai, mungkin karena namanya pasar senggol, orang terus bersenggolan di dalam.

Kota Parepare memang tidak punya mall, tidak punya bioskop, atau fasilitas hiburan lainnya layaknya kota-kota besar. Tapi kota ini bisa membuat orang baru yang berkunjung merasa betah dan nyaman. Hal itu yang saya rasakan sepuluh hari survey di tempat ini. Apalagi suasana malam harinya di pusat kota. Ah, selalu rasanya ingin kembali lagi ke kota ini.

Terbengkalaikah Syekh Yusuf Discovery?


Syekh Yusuf Discovery bukanlah hal yang asing bagi orang Sungguminasa. Saya malah cukup hafal bagaimana perkembangan tempat ini. Dari kecil, saya sering diajak orang tua untuk pergi ke tempat bermain di sekitar Lapangan Syekh Yusuf, saat itu nama tempat bermainnya adalah Bianglala. Seiring waktu, tempat bermain ini dipindahkan dari sebelah utara lapangan ke sebelah selatan. Walaupun areanya tidak sebesar yang dulu, tempat bermain sekarang lebih tertata rapi dan nyaman bagi anak-anak.

Sumber: http://news.rakyatku.com/read/23852/2016/10/12/di-tangan-adnan-lapangan-discovery-syekh-yusuf-kini-lebih-tertata
Selain karena tempat ini menyediakan fasilitas yang lengkap seperti taman bermain, lapangan olahraga, jogging trek, lapangan basket, badminton, dan beberapa fasilitas olahraga lain, pengunjung juga tidak dikenakan biaya untuk menikmati semua fasilitas.

Ruang terbuka publik ini punya peran penting dalam keseharian warga Sungguminasa. Area Lapangan Syekh Yusuf jugalah yang berdasarkan pengamatan saya paling banyak dikunjungi ketika hari minggu di Sungguminasa. Selain karena fasilitasnya yang lengkap dan gratis, banyak juga pedagang makanan sampai pakaian yang menempati jalan di sekitarnya. Pedagang hanya dibolehkan menaruh barang dagangannya di jalan pada hari minggu pagi. Karena di hari itu, sebagian jalan ditutup untuk mobil. Mirip-mirip Car Free Day di Jakarta atau di Pantai Losari, tapi dalam skala kecil.
    
Ada satu bagian dari ruang terbuka publik ini, yaitu Bangunan Patonro (saya sebut bangunan Patonro karena bentuk bangunannya didesain memang mirip topi/ikat kepala patonro, topi/ikat kepala khas Kerajaan Gowa yang dipakai Sultan Hasanuddin). Terdapat papan reklame di depannya yang menegaskan kalau bangunan ini difungsikan sebagai taman baca. Padahal tak terlihat satupun orang yang membaca di dalam maupun di luar bangunan.

Halaman di sekitar Bangunan Patonro sangat luas sehingga bisa dimanfaatkan masyarakat melakukan banyak aktivitas. Sayangnya, berdasarkan observasi saya bersama teman-teman dari PWK UNHAS 2016, keadaan halaman tersebut sangat memprihatinkan, seperti rumput-rumput yang sudah meninggi dan tembok bangunan penuh coretan. Beberapa tempat di sekitar bangunan tersebut juga ditemukan pasangan muda-mudi berseragam sekolah bermesraan dan banyak sampah bekas lem kuning. Ini sangat kontras dengan pemandangan di sekitarnya dimana terdapat tempat bermain anak dan tempat olahraga yang tertata rapi. 


Sejak saya SD, tempat ini memang sering jadi bahan cerita saya bersama teman-teman yang beberapa pernah melihat sepasang muda-mudi pacaran di atas Bangunan Patonro, bahkan bisa dibilang "kelewat batas". Walaupun sempat direnovasi beberapa tahun lalu, keadaannya kembali memprihatinkan. Cerita tentang pasangan "mesum" di tempat ini masih ada sampai sekarang.
     
Mungkin sekarang kita bisa sedikit bernafas lega, karena Bupati yang baru dilantik sudah menunjukkan keseriusannya untuk menata area ini. Pak Bupati sudah meninjau sekitar Syekh Yusuf Discovery. Terlihat juga di bagian belakang Bangunan Patonro ini mulai dibangun jalur hijau dan beberapa renovasi dilakukan. Tapi mengharapkan semuanya ke pemerintah tidaklah cukup, kita sebagai masyarakat juga harus peduli terhadap ruang publik karena kita yang memanfaatkannya menjadi tempat rekreasi dan melakukan aktivitas bersama seperti saling berinteraksi. Ruang terbuka publik yang layak dan tertata dengan baik juga dapat meningkatkan indeks kebahagiaan dan kreatifitas masyarakat. Apalagi Bangunan Patonro ini ingin dimanfaatkan sebagai taman baca, hal yang sangat baik dan perlu didukung karena banyak penelitian menyatakan bahwa minat baca orang Indonesia sangat rendah. Jangan sampai ruang terbuka publik kita menjadi tempat yang tidak bermanfaat atau malah menjadi tempat melakukan penyimpangan sosial. Sekali lagi, ayo peduli ruang publik!

Salam alay dari kami di atas Bangunan Patonro